Sabtu, 28 Maret 2009

Pernahkah Rasulullah marah?

Dalam sebuah pengajian rutin, muncul sebuah pertanyaan dari seorang jamaah, “pernahkan Rasulullah saw marah?” kemudian muncul pertanyaan susulan, “ jika pernah marah, kapankah itu terjadi dan bagaimanakah ekspresi kemarahan beliau?”
Aa begitu terharu mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bagaimana tidak, pancaran keingintahuan jamaah tersebut tentang idolanya begitu terlihat. Mereka ingin mengenal lebih jauh tentang Rasulullah saw, termasuk saat beliau marah.
Aa teringat tentang sejarah perang di zaman Rasulullah. Saat perang Hunain berakhir, terjadi aksi protes dari sebagian kaum Anshar yang merasa kecewa dengan pembagian ghanimah (harta rampasan perang) yang dianggap tidak berimbang, karena sebagian besar ghanimah itu dibagikan kepada orang-orang yang baru masuk islam di Makkah.
Sebagian kaum Anshar merasa diperlakukan tidak adil oleh Rasulullah saw. Saat mengetahui hal itu, Rasulullah marah. Kemudian beliau mengatakan sesuatu kepada mereka, “jika Allah dan RasulNya dianggap tidak adil, maka siapa lagi yang adil?”.
Cukup satu kalimat untuk mengekspresikan kemarahannya. Kalimatnya singkat dan mempunyai makna mendalam. Intonasinya datar, caranya pun tepat. Beliau marah pada saat yang tepat dan dengan alasan yang jelas, sehingga mampu membangkitkan kesadaran serta tidak menyakiti siapa pun.
Rasulullah adalah manusia seperti kita yang dianugrahi emosi oleh Allah. Di sisi lain, emosi yang Allah tanamkan kepada diri kita akan membuat kita merasa sedih, marah, bahagia, senang, sayang, dan lain sebagainya. Satu hal yang patut kita tiru dari Rasulullah adalah kemampuan beliau mengendalikan emosi tersebut menjadi suatu kebaikan.
Dengan rasa sayangnya, beliau tidak menzalimi orang lain. Dengan amarahnya, tidak ada seorangpun yang merasa tersakiti, karena disalurkan dengan cara yang epat, dalam kondisi yang tepat, dan kepada orang yang tepat. Dengan semua emosinya, beliau menjadi pribadi yang terhormat karena mampu menyikapi semua hal dengan proporsional. Inilah yang harus kita pelajari dan amalkan. Belajar untuk mengendalikan amarah akan membantu kita hidup lebih tenang.
Jika amarah itu muncul, tahanlah sekuatnya. Rasulullah menganjurkan kita untuk berwudhu agar godaan itu hilang. Rasulullah pun mengisyaratkan, jika kita marah dalam keadan berdiri, maka duduklah. Jika saat itu kita dalam keadaan duduk, maka berbaringlah. Usahakan sekuat tenaga untuk menjauhi lokasi yang dapat memancing kemarahan kita. Tentu saja, kita harus mengisi hari-hari kita dengan memperbanyak zikir dan taubat. Memperbanyak istighfar lebih utama daripada mengomel yang cenderung akan membuat luka hati orang lain.
Jika kita mampu meneladani Rasulullah dalam hal mengendalikan amarah, maka banyak sekali keuntungan yang akan kita dapatkan. Kita akan mejadi pribadi yang tenang, sehat, dan silaturrahmi tetap terjalin, serta keuntungan lainnya, yaitu menjadi pribadi yang terhormat dan terpelihara dari segala bentuk kezalman.
Disalin dari buku: 27 Kisah Hikmah Aa Gym
Diterbitkan oleh Khas MQ. Cetakan III, Jumadil Akhir 1426 H/ Juli 2005